ini adalah posting lanjutan dari postingan yang kemarin karena kalau di jadikan satu telalu panjang, bagi yang belum membaca bisa lihat di sini sebelumnya>>
Saat pemain B berhasil mengambil kerikil pertama dan kemudian menangkap kerikil yang dilemparkan, maka ia harus meletakkan sebuah kerikil di sampingnya. Kemudian ia berusaha mengambil kerikil lainnya dan melemparkan kerikil yang masih berada di tangan sambil kemudian menangkapnya lagi. Begitu seterusnya hingga kerikil yang berada di hadapannya terambil semuanya. Setelah itu semua kerikil disebar lagi di hadapannya. Jika telah menyelesaikan tahap pertama ini, pemain B harus melangkah ke tahapan yang disebut saku garo.
Pemain B di dalam tahapan saku garo harus kembali mengambil sebuah kerikil yang tadi telah disebar. Kerikil itu kembali dilempar ke atas sambil meraup dua kerikil sekaligus yang ada di lantai lalu dilanjutkan menangkap kerikil yang dilemparkan. Jika tidak berhasil harus digantikan oleh pemain giliran selanjutnya. Namun jika berhasil, maka melakukan cara yang sama, setelah dua kerikil yang ada di tangan diletakkan di sebelahnya. Jika pada pengambilan 2 kerikil selanjutnya pun berhasil, maka ia kembali menyebar semua kerikil di hadapannya dan ia telah sampai ke tahapan selanjutnya yang disebut saku galu.
Pada tahapan saku galu, pemain B kembali mengulangi cara sama, yakni mengambil satu kerikil kemudian dilempar ke atas sambil mengambil 3 kerikil sekaligus dilanjutkan menangkap kerikil yang dilempar. Setelah berhasil, ketiga kerikil kembali diletakkan disampingnya. Ia kembali mengambil sisa kerikil dengan cara yang sama. Jika berhasil semuanya, ia melangkah ke tahapan yang disebut saku gapuk.
Pada tahapan saku gapuk, pemain B menata empat kerikil saling berdempetan. Setelah itu ia kembali melemparkan sebuah kerikil lainnya ke atas dan dengan secepatnya mengambil semua kerikil yang berdempetan di hadapannya tadi untuk diraup sambil “ndulit” atau menempelkan jari telumpuk ke lantai kemudian diakhiri dengan menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas tadi. Jika ia dapat menangkap kerikil tadi berarti pemain B telah berhasil mendapatkan “sawah” atau nilai satu. Maka pemain giliran berikutnya berhak bermain selanjutnya. Demikian seterusnya hingga setiap pemain mendapatkan “sawah” yang banyak. Biasanya jumlah maksimal sawah sudah ditentukan, misalnya 5, 8, atau 10 sawah. Anak yang sudah mencapai sawah atau nilai 10 misalnya, maka anak yang paling kalah diukum dengan cara duduk slonjor.
Setelah duduk slonjor “posisi duduk dengan kaki lurus ke depan”, anak yang menang memukul-mukul kaki kiri yang slonjor secara pelan-pelan, lalu salah satu tangan kanan pemain yang menang mengepalkan tangannya ke atas. Pemain kalah dengan mata tertutup diminta menebak jumlah kerikil yang berada di tangan yang diangkat ke atas. Jumlah kerikil yang berada di genggaman tangan boleh sebagian atau seluruhnya, agar tidak mudah ditebak. Jika tidak semuanya, sebagian kerikil bisa disembunyikan di tempat yang aman, tidak kelihatan oleh pemain kalah. Saat memukul-pukul kaki pemain kalah dengan pelan, para pemain menang menyanyikan lagu “Genjeng” yang syairnya demikian: “Genjeng-genjeng/ debog bosok jambe wangen/ mur murtimur mur murtimur/ walang kadung dening cekung/ rondhe-rondhe/ pira satak pira lawe/ salawa aja na badhe/ picak jengkol pira kiye/ cakuthu cakuthu/ badhoganmu tahu basu/ aku dhewe carang madu//. Setelah tiba syair “carang madu” pemain kalah diminta membuka mata lalu menebak kerikil yang berada di genggaman tangan yang diangkat ke atas oleh salah satu pemain pemenang. Jika tebakan pemain kalah tepat, maka permainan dapat dilanjutkan. Namun jika tebakannya salah, lagu tadi bisa diulangi lagi hingga tebakannya benar.
Setiap kali pemain yang gagal di tengah permainan, maka ia akan mengulangi pada giliran berikutnya tidak mulai dari awal lagi tetapi dari tahapan yang masih gagal. Misalnya, pemain C pada permainan pertama gagal di tahapan ketiga yakni saku galu, maka setelah mendapat giliran berikutnya, ia berhak memulai di tahapan saku galu.
Dolanan gatheng memberi pelajaran kepada anak-anak untuk bermain sportif. Setiap anak yang belum trampil harus berani menerima kenyataan dan harus berani memberikan kesempatan kepada pemain lain, jika dirinya belum bisa menyelesaikan setiap tahapan. Setiap kali gagal harus berani mengatakan kalah atau gagal. Anak juga tidak boleh curang. Walaupun kadang pemain lain terlena, namun jika ia saat bermain melakukan kesalahan harus berani mengatakan “salah” dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Permainan ini juga mengajarkan kecekatan kepada anak-anak, tepatnya ketika anak-anak melemparkan kerikil ke atas dan harus segera menangkapnya. Begitulah permainan gatheng yang saat ini sudah tergilas oleh permainan modern yang lebih bersifat individualistis.
Sumber: Buku “Permainan Tradisional Jawa”, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004
0 komentar:
Post a Comment