Purnama Rembulan Ikon Alam Raya yang Dilupa

Bulan atau rembulan adalah bagian dari pandangan dan ingatan manusia di Indonesia, bahkan di sisi bumi mana saja. Karena itu, setiap suku bulan menjadi idiom dan simbol. Di setiap keluarga bulan menjadi penerang hati. Lantaran bulan memang diangkat sebagai sebuah romansa. Namun, ketika manusia Indonesia tidak banyak hidup di desa dan masyarakat desa sudah terkontaminasi televisi yang memancarkan kebudayaan kota setiap malamnya, bulan purnama serta-merta tidak lagi menjadi ikon alam raya. Permainan jamuran yang sesungguhnya merupakan 'upacara ritual' dunia anak-anak dan keluarga sudah ditinggalkan. Tradisi ibu-ibu pun membawa bayi ke luar rumah sambil menggumamkan permintaan kepada sang purnama tak lagi menjadi agenda bulanan. Karena itulah, tak ada lagi nyanyian kecil, Wulan gede, wulan gede, njaluk ayu setitik wae (Ohoi, bulan purnama, minta dong cantiknya sedikit saja).

Purnama memang menjadi bagian penting dalam ranah kehidupan manusia Indonesia. Di Indonesia bagian timur ada mitologi nenek koko hulan oa lao bao. Mitologi itu mengusung kepercayaan bahwa bulan terang adalah isyarat sang penghuni bulan sedang turun ke bumi. Penghuni bulan itu, seorang nenek sangat tua, diceritakan sedang bersembunyi di rimbun jutaan pohon beringin. Di beringin itu, si nenek konon mengawasi tingkah laku manusia. Yang nakal akan dihukum dan yang jahat akan dicelakakan. Mirip sejumlah mitologi di Eropa yang menyebut terang bulan adalah saat vampir dan drakula mencari mangsa.

Sementara itu, di sebuah daerah di Flores, bulan dipercaya sebagai penjelmaan dari sang pencipta dunia, seperti halnya matahari. Karena itu, di daerah itu ada sebutan Lera Wulan. Lera adalah panggilan untuk matahari. Wulan untuk bulan. Pada zaman dahulu, penduduk di sana secara berkala mengadakan upacara di bawah payung sinar purnama. Seperti halnya orang Bali dan Jawa kuno yang menganggap bulan sebagai dewi ketenangan dan kerukunan yang dalam segala zaman mendampingi Hyang Bagaskara, atau matahari, dewa kehidupan.

Sejumlah junjungan masyarakat tradisional Indonesia tersebut mungkin akan mengingatkan kita kepada ketakjuban orang Romawi Kuno yang memanggil bulan dengan nama manis, Diana. Orang Yunani Kuno yang memanggilnya dengan Artemis dan Selena. Orang Mesir mengagungkannya sebagai Dewa Khonsu.

Bulan dan kesenian

Dari aneka mitos itu, lalu lahirlah karya seni yang menangkap bulan sebagai ilham. Tak hanya pelukis yang memasuki mitos-mitos rembulan. Para penggubah lagu dan penyair tiada henti terlibat di dalamnya.

Lalu kita boleh ingat lagu yang diciptakan Gesang, Di Bawah Sinar Bulan Purnama yang mendayu dan menyebabkan semua orang ingin jatuh cinta (lagi) itu. Kita juga semestinya terkenang karya komponis Ismail Marzuki, Juwita Malam yang dalam barisnya berbunyi pertanyaan, Juwita malam... dari bulankah Puan... Nilai romantik bulan ini diteruskan sebuah lagu melodius 1960-an, yang salah satu kalimat dendangnya demikian, Waktu bulan purnama, aku jumpa Juwita, berdebar hati di dada, tak dapat ku lukiskannya.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1960-an, populer lagu Ulan Andung-Andung yang artinya bulan yang temaram lantaran diselimuti mendung. Lagu itu bagi yang sedang kasmaran menyimpan kualitas romantik luar biasa karena mengisyaratkan orang-orang yang nyaris patah hati. Sementara itu, bagi yang bergelut dalam politik lagu ini dipahami sebagai gumam kekecewaan atas situasi sosial yang sedang runyam. Kenyataannya memang demikian. Sekitar dua tahun setelah lagu itu populer, kudeta berdarah G-30-S meletus.

WS Rendra adalah salah satu penyair yang bertubi-tubi menggunakan bulan atau rembulan sebagai elemen sajak-sajaknya. Dalam sebuah sajaknya Rendra menulis, Aku mendengar suara/jerit makhluk yang terluka/Ada orang memanah rembulan/Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.

Pada kali lain, penyair Sitor Situmorang menggubah sajak Haiku. Sajak itu berjudul Malam Lebaran yang isi sajaknya hanya sebaris, Bulan di atas kuburan. Nilai simbolis dan filosofis sang bulan dalam karya Sitor Situmorang sangat berbeda dengan nilai komedi dalam syair-syair jenaka yang ditulis pesastra tua, Terang bulan terang di kali, buaya tidur disangka mati.
Sementara itu, penyair Sapardi Djoko Damono memakai bulan sebagai penanda saat, penunjuk waktu. Eksistensi bulan sangat berarti dalam mengkristalkan isi karyanya. Selarik sajaknya menangkap bulan dengan kalimat ini, Aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku, dari genting kaca.

Sang bulan tentu tidak hanya dipeluk-rindu masyarakat Indonesia. Di China mitos bulan purnama telah berabad-abad menjadi bagian penting dalam perikehidupan. Penyair Li Tai Pho, Wang Wei, dan Su Tung Po menyadarkan orang bahwa bulan purnama itu adalah makhluk puitis jagat raya. Bahkan bulan adalah puisi itu sendiri. Begitu pula bagi berlaksa pelukis China tradisional di sana. Semua itu sejalan dengan falsafah Lao Tze yang disosialisasikan lewat Taoisme pada 2.400 tahun silam. Bahkan di negeri ini ada upacara pe gwee cap go (bulan 8 tanggal 15) yang dirayakan sejak berabad-abad lampau. Disebutkan, pada hari itu bulan berada dalam puncak purnamanya dalam setiap tahun. Kue bulan yang bundar empuk itu pun beredarlah.

Semoga bulan di Indonesia tidak cuma diasosiasikan secara hedonis, bulan muda (banyak duit), bulan tua (bokek), dan bulan depan (bayar utang).

1 komentar:

Anonymous said...

Wah artikelnya bagus, jadi ngingetin jaman dulu pas maen patak umpet, hua.ha..ha dulu pas maen petak upet yang laen pada ngumpet aku pulang makan hi.. hi