jethungan

Keceriaan anak-anak kampung dulu juga sering terlihat dari permainan jethungan. Ada banyak tempat di Jawa yang mengenal jenis dolanan anak tradisional masyarakat Jawa ini, walaupun dengan nama yang agak berbeda, seperti jethungan, jelungan, dhelikan, atau umpetan. Namun prinsip permainan sama, yaitu pemain pemenang bersembunyi, sementara pemain kalah atau “dadi” berusaha mencari pemain lain tanpa harus meninggalkan terlalu jauh pangkalan sebagai tempat bermain.

Istilah jethungan juga telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Porwadarminto terbit tahun 1939. Pada halaman 84, kamus tersebut menyebut bahwa jethungan adalah jenis dolanan anak. Di kamus itu pula, disebutkan bahwa nama lain jethungan adalah jelungan dan jembelungan. Dari istilah di kamus ini menunjukkan bahwa jenis permainan tradisional ini sudah dikenal sebelum tahun 1939 oleh anak-anak masyarakat Jawa.
Istilah jethungan atau jelungan biasa digunakan di suatu daerah karena istilah itu sering diucapkan oleh pemain-pemain yang berhasil tiba di pangkalan tanpa bisa ditebak oleh pemain kalah. Sementara istilah dhelikan dan umpetan yang dipakai di daerah lain, lebih menunjuk ke pemain yang menang ketika sedang bersembunyi. Sementara tidak ada referensi yang jelas terhadap keterangan kata jembelungan.

Seperti umumnya permainan tradisional yang dikenal oleh anak-anak di lingkungan Jawa, dolanan jethungan juga tidak membutuhkan biaya dan perlengkapan yang mahal. Dolanan ini dapat dimainkan oleh anak-anak tanpa harus mengeluarkan biaya, karena hanya membutuhkan tempat yang cukup luas. Dulu, dolanan ini biasa dimainkan di halaman rumah, di dalam rumah, di jalan-jalan kampung, di lapangan, maupun di perkampungan. Anak-anak yang senang bermain jethungan berumur 6—14 tahun. Namun ada kalanya anak-anak yang lebih besar ikut bermain. Permainan dilakukan secara berkelompok, artinya lebih ideal dimainkan antara 4—10 anak. Jethungan sering dimainkan saat-saat waktu senggang, seperti sore hari atau malam hari. Saat liburan kadang juga dimainkan pada pagi hari. Begitu pula ketika di sekolah, bisa dilakukan waktu istirahat.

Anak-anak yang hendak memainkan dolanan jethungan biasanya setelah berkumpul, menyepakati beberapa peraturan sederhana, misalnya, pembatasan wilayah permainan, tidak diperkenankan masuk rumah (jika bermain di luar rumah), harus melihat sungguh-sungguh yang ditunjuk (dithor, disekit) bukan asal spekulasi, waktu menutup mata tidak boleh melirik, tidak boleh terus-menerus menunggu pangkalan (tunggu brok), dan sebagainya. Jika mereka sudah membuat peraturan sederhana, mereka memilih sebuah pangkalan untuk dijadikan pusat permainan, misalnya pohon, sudut tembok, gardu ronda, tembok gapura, sudut pagar, tiang rumah, atau lainnya. Pangkalan sebisa mungkin mudah dijangkau oleh semua pemain.
Semua anak yang akan bermain, misalnya berjumlah tujuh anak (A,B,C,D,E,F, dan G), harus melakukan hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan kalah menang. Saat telah terdapat satu pemain yang “dadi”, maka anak-anak yang menang “sut” segera bersembunyi ke tempat-tempat yang tidak mudah terlihat oleh anak yang “dadi”. Pemain “dadi” memberi kesempatan ke anak-anak yang akan bersembunyi, biasanya memakai hitungan 1-10 dan jika semua pemain menang telah bersembunyi, lalu mereka meneriakkan kata “wis”, “ndhuuuk” atau diam saja. Dengan kode seperti itu, berarti pemain “dadi” siap untuk mencarinya. Ia harus mencari anak-anak yang bersembunyi satu-persatu. Jika telah menemukan satu anak, misalkan bernama B, maka ia segera menyebut namanya (“sekit” B) lalu berlomba berlari kembali ke pangkalan dengan anak yang ditebak atau istilah lainnya telah “disekit”. Jika B tadi kalah cepat tiba di pangkalan berarti ia yang “dadi”. Sementara pemain yang kalah menjadi anak yang menang, berarti ikut bersembunyi.

Repro Foto bersumber dari buku “Permainan Rakyat DIY”, Ahmad Yunus, 1980/1981.

0 komentar: