Cublak Suweng Rekor Dunia

Cublak-cublak Suweng Masuk Rekor Dunia


PERMAINAN cublak-cublak suweng massal yang ditampilkan oleh ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada penyelenggaraan Milad ke-13 di Lapangan Tri Lomba Juang Semarang, Minggu (24/4), tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (Muri). Atraksi itu tercatat dalam nomor urut rekor 4.848 dan bahkan memecahkan rekor dunia dengan jumlah peserta terbanyak, yaitu 5.673 orang.


Sambil bermain, para kader ini dihibur grup akapela nasional, Awan Nasyid, yang secara khusus mempersembahkan akapela Jawa. Manajer Muri Sri Widayati mengatakan, permainan ini merupakan pemecahan rekor Muri ketiga yang dilakukan PKS.


Dua rekor PKS sebelumnya adalah menjamu makan bakso terbanyak dengan jumlah peserta enam ribu orang dan sebagai partai yang menggelar kampanye terbuka dengan peserta terbanyak, 122 ribu orang. Ketua DPW PKS Jateng Abdul Fikri Faqih menambahkan, bagi PKS, budaya dan seni merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai partai dakwah, PKS memandang seni dan budaya adalah bagian penting untuk melakukan transformasi menuju masyarakat madani.

Cublak-cublak suweng, kata Fikri, merupakan salah satu dolanan anak-anak warisan leluhur yang mulai ditinggalkan. Masyarakat sibuk dengan alat-alat modern seperti komputer dan televisi, sehingga lalai dengan warisan leluhur. ”Mendengungkan kembali cublak-cublak suweng sepertinya sepele, namun sebetulnya memiliki banyak makna.”


Kenapa dolanan anak-anak sampai nyaris hilang? Menurutnya, akibat ruang kota sudah habis lantaran arus modernisasi dan urbanisasi. Bagaimana anak-anak akan bermain gobak sodor, egrang, dan lain-lain, jikalau arena tidak ada lagi.


”Permainan warisan nenek moyang lebih sehat. Ketimbang futsal, apakah tidak lebih baik main benthik? Daripada playstation, lebih sehat tarik tambang dan egrang,” tuturnya.

Ketua panitia Milad PKS, Agung Budi Margono, mengatakan, subtansi dari pemecahan rekor ini lebih kepada keinginan PKS untuk kembali mengajak masyarakat mencintai budaya. ”Dimulai dari hal kecil ini, semoga memori kita tentang budaya bisa kembali hadir, selanjutnya mencintainya,” katanya.


Ia menjelaskan, mengutip sebuah hasil survei tahun 2010 di Yogyakarta, 63 persen anak mengetahui nama-nama dolanan Jawa. Namun, mereka tidak mengetahui cara dan aturan permainan secara keseluruhan. Sementara 27 persen anak sama sekali tidak mengetahui dolanan Jawa. Dalam kurun 5-10 tahun mendatang, mungkin hanya lima-enam jenis dolanan Jawa yang bisa bertahan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan punah.

Dari penelitian itu juga terungkap, sebanyak 65 persen anak akrab dengan videogame, 13% secara rutin menonton TV, 11% di arena bermain, dan 11 persen lainnya mengisi waktu luang dengan aktivitas positif seperti les dan mengaji. ”Artinya, permainan modern sudah banyak diminati anak-anak daripada permainan tradisional.î (Yunantyo Adi S, Saptono JS-43)

sumber : SuaraMerdeka


0 komentar: