gatheng

Judul ini mungkin terasa masih asing di kalangan masyarakat luar jawa, karena apa? sebenarnya mereka mengenal ini tetapi dengan nama yang lain, gatheng ini mirip dengan permainan bekelan hanya saja veri yabg sangat tradisional.


Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72).

Bukti lain, kata gatheng juga ditemukan di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto diterbitkan oleh JB. Wolters’ Uitgevers Maatschappij tahun 1939. Pada halaman 134 kolom 2 diterangkan bahwa gatheng termasuk nama dolanan anak yang menggunakan kerikil berjumlah 5 buah. Kerikil tersebut ada yang dilemparkan ke atas, sebagian lain diambil memakai tangan (diraup). Dari keterangan di atas, jelas bahwa permainan gatheng memang termasuk dolanan anak yang sudah berumur tua. Dolanan itu hingga saat ini masik dikenal oleh sebagian masyarakat termasuk anak-anak karena masih dimainkan ketika waktu senggang. Hanya mungkin intensitasnya tidak seperti zaman dulu karena pilihan permainan anak zaman sekarang semakin banyak dan bervariasi. Namun begitu juga sudah banyak anak-anak yang merasa asing dengan permainan ini karena memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi mereka menganggap asing dolanan ini.


Dolanan gatheng termasuk permainan perorangan. Awalnya, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Namun dalam perkembangannya juga sering dimainkan oleh anak laki-laki. Jadi saat ini permainan ini sudah dianggap permainan umum, biasa dimainkan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang bermain gatheng biasanya setingkat SD atau berumur antara 7—14 tahun. Dolanan gatheng dimainkan oleh anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru.


Anak-anak yang akan bermain gatheng, misalkan 4 anak, sebelum bermain biasanya mereka sudah mempersiapkan 5 kerikil sama besar. Setelah itu mereka duduk melingkar di tempat yang rata. Hompipah dilakukan pertama kali untuk mencari pemenang urutan pertama hingga keempat. Misalkan B sebagai pemenang pertama, maka ia mendapatkan giliran bermain pertama kali, kemudian disusul pemenang selanjutnya, misalkan C,D, dan A.


gket satu sama lain. Sebab jika ada yang lengket atau menyatu akan menyulitkan bagi pemain. Setelah itu, pemain B mengambil salah satu kerikil lalu dilemparkan ke atas kira-kira 40-60 cm. Bisa lebih tinggi asalkan masih di sekitar area bermain. Sambil melemparkan sebuah kerikil ke atas, pemain B berusaha mengambil lagi sebuah kerikil lainnya sambil digenggam terus menangkap kerikil yang dilemparkan tadi sebelum kerikil jatuh ke lantai. Jika pemain B tidak berhasil menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas, berarti pemain B dianggap mati dan harus digantikan pemain C. Begitu pula jika ada kerikil yang lengket dan saat diambil pemain B bergerak, maka permainan oleh pemain B untuk sementara juga dianggap mati dan harus digantikan pemain lainnya.


bersambung


(Sumber: Buku “Permainan Tradisional Jawa”, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004)

0 komentar: