dhelikan

Baca Dhelikan post 1Tautan
Namun sebaliknya jika yang “disekit B” larinya lebih cepat daripada pemain yang “dadi” dan lebih duluan memegang pohon yang menjadi pangkalan, maka pemain B lolos terhindar menjadi pemain “dadi”. Kemudian pemain kalah, misalkan G, harus kembali mencari pemain-pemain lain yang masih bersembunyi. Kebetulan jika pemain C misalnya lolos lagi dari tebakan dan segera memegang pohon sambil meneriakkan “jethung”, maka pemain C pun lolos dari “dadi”. Demikian seterusnya hingga ada pemain yang ditebak atau “disekit” dan ia kalah cepat memegang pangkalan daripada pemain “dadi”.

Jika pemain yang “dadi” terlalu penakut, biasanya ia lebih banyak tunggu pangkalan atau disebut tunggu “brok”. Jika ini terjadi, maka pemain yang bersembunyi akan selalu mengejek dengan kata-kata “sing dadi tunggu brok, sing dadi tunggu brok” begitu seterusnya. Maka pemain kalah akan merasa risih dan muncul keberanian untuk mencari asal suara-suara ejekan tadi. Ia akan berani mulai mencari walaupun dengan risiko jika larinya kalah cepat, maka ia akan sering “dadi”. Bagi anak yang sering “dadi” biasa sering disebut “dikungkung”. Jika ia tidak tahan bisa menangis. Tetapi kadang pula ia tetap bandel dan cuek dikatakan “tunggu brok” jika memang tidak punya keberanian mencari jauh-jauh pemain yang bersembunyi. Jika sudah menghadapi anak yang “tunggu brok” biasanya pemain yang bersembunyi akan membalasnya dengan bersembunyi semakin jauh dari pangkalan, bisa jadi ditinggal masuk rumah, mencari buah, tiduran, dan sebagainya.


Ada dua versi permainan jethungan untuk menentukan pemain “dadi” berikutnya. Versi pertama, seperti yang dijelaskan di atas, yakni setiap kali pemain yang “disekit” duluan kalah lari memegang pangkalan, ia dianggap yang “dadi” pada tahap berikutnya. Tetapi versi lain anak yang akan “dadi” baru ditentukan “dadi” apabila semua pemain yang ikut bermain sudah ditebak semuanya, baik yang bisa menangkap pangkalan duluan atau yang kalah cepat datang ke pangkalan. Misalkan jika dari enam anak yang menang, A,B,C,D,E, dan F, ada tiga anak A,B, dan C yang lolos bisa lebih dulu menangkap pangkalan, maka anak tersebut dianggap menang. Namun ada tiga anak lain misalkan D,E, dan F yang saat “disekit” saat berlomba menangkap pohon yang menjadi pangkalan, merela kalah duluan menangkapnya daripada pemain “dadi”. Maka ketiga anak tersebut yang bakal menjadi pemain “dadi” berikutnya.


Setelah semua pemain berkumpul, maka pemain “dadi” berada di paling depan dekat pohon pangkalan. Sementara itu semua pemain A,B,C,D,E, dan F berjajar di belakangnya sambil berdiri acak. Misalkan dengan urutan F,D,E,C,A, dan B. Sambil menutup mata, pemain “dadi” harus menebak salah satu pemain yang berjajar di belakangnya dengan menyebut angka urutan. Misalkan pemain “dadi” menyebut angka 3, maka pemain yang berjajar di urutan ketiga, yaitu pemain E, menjadi pemain yang “dadi” berikutnya. Sebab ia saat berlomba menangkap pangkalan kalah duluan dengan pemain G. Namun jika pemain G saat menebak anak yang berjajar menebak urutan ke-6, sementara yang menduduki urutan ke-6 adalah pemain B, maka terpaksa pemain G “dadi” lagi, karena pemain B termasuk salah satu pemain yang lolos saat beradu kecepatan menangkap pangkalan. Begitulah permainan jethungan berlangsung dari tahap awal ke tahap awal berikutnya.


Permainan jethungan memang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan keberanian bermain. Kecepatan dibutuhkan saat berlomba berlari dengan pemain lawan, ketepatan diperlukan saat menebak pemain lawan harus tepat tidak boleh keliru, dan keberanian diperlukan jika terpaksa harus “dikungkung” dan tidak boleh tunggu “brok”. Jika dimainkan pada malam hari, anak-anak harus berani menembus gelapnya malam agar tidak mudah ditebak oleh pemain “dadi”.


Sayang, permainan tradisional jethungan saat ini juga sudah mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sudah sangat jarang anak-anak bermain jethungan, kecuali mungkin di saat-saat ada acara festival dolanan, sarasehan, parade, atau lomba dolanan anak.


Repro Foto bersumber dari buku “Permainan Rakyat DIY”, Ahmad Yunus, 1980/1981.

0 komentar: