Mbah Rupinah, Penjual Permainan Anak Tradisional Jawa

Ingin Tetap Lestarikan Budaya
Internet dan PlayStation menyerbu, menghipnotis perhatian anak-anak. Tetapi, Mbah Rupinah tetap konsisten, menjual permainan anak tradisional dari Jawa, pekerjaan yang telah ditekuninya sejak 2000 sampai saat ini.

Mbah Rupinah tengah duduk santai di kursi panjang yang terbuat dari kayu sambil melihat ke jalan. Rumahnya tepat berada di pinggir Jl. Kimaja No. 11, Kedaton, Wayhalim, Bandarlampung.


Kemeja lengan panjang bergaris dipadu kain batik membalut tubuhnya yang merenta. Meski begitu, dibanding perempuan berusia sama, 80 tahun, jelas fisiknya jauh lebih segar. Ini tak lepas dari semangatnya.


Setiap hari mulai pukul 07.00 sampai 22.00 WIB, ia bergelut dengan pekerjaannya. Menunggui barang dagangannya yang ia order dari luar daerah. Seperti kuda kepang, celengan Jawa, dan caplukan yang ia datangkan dari Surabaya. Hanya wayang yang ia pesan dari Jogjakarta.


’’Peminatnya ya ada saja, walaupun kadang juga tidak laku. Banyak pedagang beli di sini, langsung 20 buah. Tetapi banyak juga yang membeli satuan,” ceritanya.


Setiap dua bulan sekali, dia akan telepon minta dikirimkan aneka permainan anak itu sebanyak dua karung sekaligus atau 200 buah yang per satuannya ia jual Rp13 ribu. Sementara wayang hanya ia pesan 13 buah dengan harga per satuan Rp40 ribu.


Wanita yang pernah mengeyam SR sampai kelas 3 di Sentolo, Jogjakarta, ini memutuskan menjual aneka permainan tersebut bukan hanya berpikir keuntungan. ’’Tetapi lebih pada melihat ini permainan rakyat yang harus dilestarikan,” ujarnya.


Terlebih, almarhum suaminya adalah seorang dalang wayang kulit di Surabaya. Dulu ketika suaminya masih hidup, selain berjualan di pasar, ia sering membuat patung dan lukisan dari tanah liat. Tetapi karena sudah tua, dia tidak mampu lagi. ’’Cuma patung harimau ini yang tersisa, sengaja tidak dijual sebagai kenang-kenangan,” tuturnya.


Tak Ingin Repotkan Anak
Usia lanjut tak membuat Mbah Rupinah santai menghabiskan waktu tuanya. Justru sebaliknya, dia makin giat bekerja dan berusaha. Semua ini dilakukan karena tak ingin merepotkan anak-anaknya.

’’Walaupun sudah tua, saya tetap ingin mandiri. Hal ini juga dipesankan oleh suami saya Mbah Kasno (alm.) pada 2007 sebelum dia meninggal,” ungkap ibu tujuh anak ini.


Selain itu, ia merasa anak-anaknya juga mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya. ’’Kalau merepotkan, saya akan menjadi beban bagi mereka,” tuturnya.


Mbah Rupinah punya prinsip, selagi bisa bekerja dan memiliki penghasilan, maka ia tetap melakukannya. ’’Kalau tidak bekerja, badan juga terasa pegal-pegal. Orang tua dulu kan berbeda dengan sekarang. Kalau saat ini, kebanyakan bekerja menjadi sakit. Tetapi orang tua dulu justru bekerja bisa membuat badan makin sehat,” tutur nenek 10 cucu ini sambil tersenyum.


Tidak Pernah Mengeluh
’’Ibu tidak pernah mengeluh, karena beliau tidak pernah merepotkan ketujuh anaknya. Hal ini yang akhirnya membuat kami, anak-anaknya, harus terus mengingatkannya. Apalagi jika ada masalah, ibu biasa memendamnya sendiri,” ungkap Parwoto.

Iyang –sapaan akrabnya– mengatakan, ibunya justru sering membantu anak-anak dan cucunya yang kesulitan, khususnya dalam hal uang. ’’Dia tidak pernah ragu memberikan uangnya untuk kami. Misalnya untuk membayar tagihan listrik,” bebernya.


Putra keempat dari Mbah Rupinah ini mengatakan, ibunya dari mereka masih kecil tidak ingin menyusahkan anak-anaknya. Sebisa mungkin, segala hal ia lakukan sendiri.


Sejak muda, ibunya selalu bekerja, tidak pernah mengenal lelah. Baginya, selagi badan masih kuat, dia selalu beraktivitas. ’’Dulu, ibu berjualan di pasar. Namun karena usianya yang sudah renta, kami memintanya untuk melakukan di rumah saja,” ungkap lelaki dua anak ini. (cia/c1/dea)


About Her

Nama : Rupinah
TTL : Jogjakarta, 1931
Alamat : Jalan Kimaja No. 11, Wayhalim, Bandarlampung
Pekerjaan : Penjual permainan anak tradisional
Suami : Kasno (alm.)

sumber : Radar Lampung

0 komentar: