Permainan Cungkup Milang Kondhe

Berikut ini satu lagi permainan tradisonal yang berasal dari daerah yogyakarta dan sekitarnya, merupakan permaian yang di lakukan secara berkelompok.

Dolanan Cungkup Milang Kondhe adalah salah satu jenis permainan tradisional yang juga pernah dikenal dan dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa, terutama dari gender perempuan. Dilihat dari namanya, jelas mengindikasikan dari bahasa Jawa baik dari kata cungkup, milang, dan kondhe. Walaupun setelah kata itu dirangkai, sulit untuk memberi makna, kecuali nama dari sebuah permainan itu sendiri. Namun ketiga kata itu dalam kamus bahasa Jawa masing-masing kurang lebih bermakna ‘rumah nisan’, ‘menghitung’, dan ‘gelung rambut pasangan untuk kaum wanita’. Jadi, cukup sulit untuk memaknai jenis dolanan itu dengan namanya. Hanya saja, bisa dihubungkan-hubungkan dari bentuk permainan yang berbentuk lingkaran. Jika dilihat dari atas, bentuk lingkaran itu seperti bentuk kondhe. Itulah sebabnya, mungkin dolanan ini oleh anak-anak mendapat sebutan Cungkup Milang Kondhe.

Menurut Ahmad Yunus (1980/1981), dolanan ini merata dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa di berbagai wilayah di Yogyakarta, setidaknya sekitar tahun 1940-an. Bagi nenek-nenek masyarakat Jawa yang kelahiran tahun tersebut tentu masih ingat dengan jenis dolanan ini. Sayangnya, anak-anak sekarang sudah tidak banyak mengenal jenis permainan itu.

Seperti dolanan lainnya, dolanan ini juga hanya bersifat menghibur belaka di samping untuk melatih keberanian anak untuk saling bersosialisasi di antara sesama saat bergaul di lingkungan kampung atau desa. Maka tidak heran, dolanan seperti ini sangat disenangi dan dimainkan oleh anak-anak, apalagi mudah dimainkan dan tidak perlu ribet memerlukan peralatan yang sulit diperoleh. Alat yang digunakan untuk bermain Cungkup Milang Kondhe hanyalah sebatas sebuah saputangan (bahasa Jawa: kacu) dan sebuah kerikil saja. Jika tidak ada saputangan bisa digantikan jenis kain lain yang fungsinya bisa untuk menutup mata. Selain itu, permainan ini juga hanya memerlukan tempat yang agak lapang sebagai tempat bermain. Sebisa mungkin, tempat bermain rata, bersih, rindang, dan nyaman.

Memang, dolanan ini lebih banyak dimainkan oleh anak perempuan daripada anak laki-laki. Namun jika ada anak laki-laki yang ikut juga diperbolehkan. Apalagi di zaman dulu, seringkali anak perempuan mengasuh adik laki-lakinya sambil diajak bermain. Usia anak-anak yang bermain dolanan ini sekitar 7 – 14 tahun, biasanya seusia anak SD. Mereka bermain berkelompok, artinya dolanan ini, minimal dimainkan oleh 5—14 anak. Anak perempuan yang paling besar, biasanya berposisi sebagai embok (induk).

Waktu bermain, seperti juga dolanan tradisional lain di zaman dulu, umumnya dimainkan waktu senggang dan waktu yang paling afdol adalah malam hari di bulan purnama, setelah matahari terbenam (Maghrib) hingga sekitar jam 20.00 WIB. Saat itulah anak-anak melepas kepenatan setelah seharian sekolah atau membantu pekerjaan orang tua di rumah, ladang, atau sawah. Zaman dulu, anak-anak setelah jam 8 malam, biasanya sudah tidur, atau yang sering disebut sirep lare. Perlu mafhum, zaman dulu tidak ada hiburan, seperti televisi dan sejenisnya.

Mereka yang bermain dolanan ini juga tidak dibeda-bedakan menurut status atau strata sosial. Jadi sifatnya umum, campur antara bangsawan, petani (rakyat jelata), atau masyarakat lainnya. Selain itu, dolanan ini tidak ada kaitannya dengan kegiatan ritual atau keagamaan. Sifatnya hanya permainan bebas untuk bergembira dan bersosialisasi.

Permainan ini dimainkan cukup mudah serta diiringi sebuah lagu “Cungkup Milang Kondhe” yang syairnya sebagai berikut: //Cungkup, cungkup milang kondhe/ milang arum, arum simbar latar/ tak cungkup maesa, jejagane paturone/ lera-lere ketemu kene//.

Apabila anak-anak sudah berkumpul untuk bermain Cungkup Milang Kondhe, misalkan ada 10 anak (A,B,C,D,E,F,G,H,I, dan J), maka mereka segera menentukan salah seorang di antaranya yang dijadikan si embok. Misalkan anak yang terbesar adalah pemain J. Setelah ia terpilih embok, tugasnya adalah memegang kerikil yang akan diberikan kepada pemain mentas. Selain pemain J, maka semua pemain lain melakukan hompimpah dan sut. Pemain terkalah menjadi pemain dadi, misalkan pemain A.

Langkah selanjutnya pemain B sampai I membentuk lingkaran sambil bergandengan tangan. Sementara pemain dadi berada di dalam lingkaran dengan mata tertutup saputangan atau kain. Pemain J berada di luar lingkaran. Selanjutnya, para pemain mentas dan embok bernyanyi “Cungkup Milang Kondhe” secara bersama-sama. Sambil bernyanyi, para pemain mentas berputar ke arah berlawanan jarum jam (ke kiri). Sementara pemain J ikut berputar, namun arahnya sama dengan arah jarum jam. Bisa juga kebalikannya. Sebelum nyanyian berhenti, pemain J harus sudah meletakkan kerikil yang dibawanya pindah ke tangan seorang pemain mentas, misalkan pemain D.

Setelah lagu selesai dinyanyikan, maka semua pemain mentas, termasuk si embok berhenti berputar. Posisi tangan semua pemain mentas menggenggam. Sementara itu, pemain A juga segera membuka saputangan atau kain penutup mata. Ia mulai menebak pembawa kerikil. Jika ia tepat menebak, maka pemain yang ditebak harus menggantikan posisinya. Namun, jika tidak tertebak maka ia menjadi pemain dadi lagi. Jika tidak tertebak, maka dimulai lagi dengan menyanyikan lagu Cungkup Milang Kondhe. Demikian seterusnya hingga sebagian besar atau semua pemain merasa lelah dan bosan. Permainan akan semakin seru, jika ada anak yang dikungkung (menjadi pemain dadi secara terus-menerus). Kalau ia tidak kuat ejekan dan tertawaan dari teman-teman lainnya, biasanya terus menangis. Untuk itu, dolanan ini juga melatih bandel.

Sumber: Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981, Jakarta, Departemen P & K

0 komentar: