Gajah Telena

Jenis permainan yang satu ini juga termasuk dolanan yang tidak menggunakan peralatan bantu untuk bermain, cukup terkenal di beberapa daerah di masyarakat Jawa, dan sering pula dimainkan oleh anak-anak usia SD. Namun begitu, seperti juga dolanan lainnya, dolanan ini juga diiringi dengan sebuah lagu, yakni: //Gajah-gajah telena/ telenane garunata/ jenang katul sisir gula/ her segara amba/ her segara amba//. Melihat dari namanya, dolanan ini memang terinspirasi dari nama hewan gajah. Dalam peperangan seperti dalam cerita wayang, gajah merupakan salah satu hewan yang dipakai tunggangan untuk bertempur melawan musuh. Dari situlah, kemudian anak-anak masyarakat Jawa membuat permainan yang diberi nama “Gajah Telena”. Sementara kata “telena” ada yang menyamakan persepsi dengan “tlale” atau belalai gajah. Memang gajah mempunyai belalai. Kata “telena” sendiri sebenarnya setelah dilacak di Kamus Baoesastra Djawa tidak ditemukan.

Dolanan “Gajah Telena” dimainkan secara berkelompok. Pada umumnya, dolanan ini dimainkan oleh anak laki-laki karena memerlukan kekuatan fisik. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 anak sebaya. Minimal ada dua kelompok, yang nantinya kedua kelompok itu saling berhadapan untuk saling menyerang. Dilakukan di tempat terbuka dan biasanya di tanah lapang atau kebun bertanah, berumput, atau berpasir, agar jika terjatuh, pemain tidak begitu terasa sakit. Maka dolanan ini sangat jarang dimainkan oleh anak perempuan. Waktu yang sering dipakai adalah waktu senggang, baik siang atau sore hari. Bisa pula dimainkan saat terang bulan purnama.

Sebelum anak-anak bermain gajah telena, biasanya ada aturan lisan yang disepakati bersama, kaitannya dengan permainan, seperti: mereka hanya boleh menjatuhkan lawan dengan cara mendesak, menarik, dan mendorong. Sebaliknya, para pemain tidak diperbolehkan menjatuhkan lawan dengan cara merenggut (njambak) rambut, menendang, menyepak, mencupit, dan memukul. Bagi kelompok yang terjatuh duluan, itulah kelompok yang dianggap kalah. Bagi kelompok kalah tidak ada hukuman. Hanya biasanya mereka mengganti formasi dan berusaha menantang kembali. Dolanan ini akan berhenti apabila ada anak (kelompok) yang menyerah, telah lelah, capek, atau ingin berpindah ke dolanan lain.


Anak-anak yang hendak bermain gajah telena biasanya sudah berkumpul di tempat bermain. Misalkan ada 8 anak (pemain A,B,C,D,E,F,G, dan H), kemudian mereka dibagi menjadi dua kelompok I dan II. Kelompok I terdiri dari pemain A,B,C, dan D. Sementara kelompok II terdiri dari pemain E,F,G, dan H. Masing-masing kelompok agak saling berjauhan. Masing-masing kelompok kemudian bersepakat untuk menentukan formasinya, siapa yang hendak jadi gajah dan siapa yang hendak jadi penunggang. Setelah disepakati, misalkan kelompok I sebagai formasi gajah adalah pemain A,B, dan C. Sementara pemain D sebagai penunggang gajah. Demikian pula kelompok II sebagai formasi gajah adalah E,F, dan G. Sementara pemain H sebagai penunggang gajah. Masing-masing kelompok yang bertugas menjadi gajah segera membentuk formasi dengan cara tangan-tangan dirangkaikan. Setelah itu pemain yang menunggang gajah segera naik ke bentuk formasi itu. Setelah siap, mereka bersama-sama dengan anak-anak yang menonton menyanyikan lagu gajah telena seperti di atas. Bisa dinyanyikan sekali atau dua kali, tergantung situasinya. Apabila mereka lama saling menjajagi kekuatan lawan dengan berputar-putar lebih dulu, maka nyanyian gajah telena bisa dinyanyikan berulang-ulang. Setelah mereka saling menyerang, maka pemain konsentrasi dalam penyerangan. Sementara para penonton, yang umumnya anak-anak akan saling menjerit, menjagokan idolanya masing-masing.


Mereka, para penonton akan terus bersorak-sorai dan memberi dukungan ke kelompoknya masing-masing. Sementara para pemain masing-masing kelompok dengan sekuat tenaga berusaha menjatuhkan lawannya. Apabila ada kelompok yang terjatuh, misalnya kelompok I, maka mereka dianggap kelompok kalah. Jika sudah ada kelompok yang terjatuh, maka penonton akan tambah seru bersorak-sorai, ada yang kegirangan, sebaliknya ada yang terus mengompori untuk terus kembali menyerang lawan.


Untuk selanjutnya, kelompok I bisa mengubah formasi. Setelah siap, mereka mulai menyerang kembali kelompok II. Jika pada serangan kedua ini, kelompok II bisa menjatuhkan kelompok I, maka dianggap kedudukan satu-satu. Demikian seterusnya, hingga keduanya merasa lelah. Jika mereka memutuskan untuk berhenti bermain, maka mereka membubarkan diri.


Itulah sekelumit dolanan gajah telena yang sekarang sudah sangat jarang ditemui di dunia dolanan anak-anak, kecuali mungkin masih tampak dalam festival dolanan anak. Dolanan tersebut sebenarnya sebagai salah satu ajang bersosialisasi bagi anak-anak sebaya di kampung.



Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press

0 komentar: