Cing kiripit tulang bajing kacapit.... Masih ingatkah Anda dengan potongan kalimat tersebut? Sambil mendendangkannya, ujung telunjuk tangan kita dan pemain lainnya lekat di telapak tangan seorang teman yang ditunjuk. Akhirnya, beriringan dengan selesainya nyanyian itu, secara cekatan telunjuk kita harus cepat ditarik dari telapak tangan tersebut. Siapa yang telunjuknya tertangkap, dialah yang menjadi pemain awal atau ucing.
Peraturan tersebut adalah salah satu cara anak-anak kita, terutama di pedalaman, dalam mengikuti atau menentukan pihak untuk memulai permainan anak tradisional. Begitu sederhana, unik, dan kreatif. Siapa pun yang pertama kali menciptakan aturan ini sangat memerhatikan nilai-nilai sportivitas serta memegang prinsip-prinsip kejujuran dan sikap taat aturan.
Dalam pelaksanaan permainan anak tradisional, hampir tidak pernah ditemukan sikap protes, melanggar aturan yang disepakati, dan sakit hati di antara pihak-pihak yang bermain. Maka, tidak mengherankan, jenis permainan ini begitu banyak peminatnya.
Karakteristik
Permainan anak tradisional memiliki karakteristik tersendiri yang dapat membedakannya dengan jenis permainan lain. Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan kita tanpa harus membelinya.
Salah satu syaratnya ialah daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Pasalnya, si pemain harus bisa menafsirkan, mengkhayalkan, dan memanfaatkan beberapa benda yang akan digunakan dalam bermain sesuai dengan yang diinginkan. Tanpa daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi, tuas daun dari pohon pisang, misalnya, tidak mungkin bisa disulap menjadi bentuk permainan bedil-bedilan (pistol-pistolan) atau kuda-kudaan oleh seorang anak.
Karakteristik kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak atau berorientasi komunal. Tidak mengherankan, kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kegembiraan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud lebih pada pendalaman kemampuan interaksi antarpemain (potensi interpersonal).
Permainan pris-prisan, misalnya, tidak bisa dimainkan sendiri. Begitu pula dengan sederet permainan lainnya, seperti petak umpet, boy-boyan, congklak, dan somdah. Meski demikian, tetap ada beberapa permainan tradisional yang dimainkan sendiri.
Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu. Menurut Sierly, penggagas lomba kau-linan budak di Spirit Camp, bebe-rapa permainan tradisional tidak sekadar menghilangkan stres anak atau membuat fokus dalam pelajaran, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati, menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.
Situasi aktual
Permainan anak tradisional lahir dari hasil kreativitas yang bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal. Dalam bahasa Van Peursen, hal itu merupakan sebuah manifestasi kebudayaan setiap orang dan kelompok yang mengarah pada segala perbuatan manusia, seperti cara menghayati kehidupan. Begitu penting permainan tradisional sehingga pemerintah melalui Dinas Kebudayaan memasukkannya sebagai salah satu bidang garapan. Hal ini merupakan upaya untuk mengonservasi, mendata, merawat, dan melestarikan nilai-nilai budaya kita.
Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita Siregar dalam bukunya, Permainan Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam bentuk dan variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan tradisional di Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa permainan tradisional Indonesia sangat melimpah.
Namun sayang, dari sekian banyak permainan tradisional tersebut, sekarang ini keberadaan sebagian di antaranya sangat sulit ditelusuri dan dilacak, atau bisa dikatakan terancam punah. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran zaman. Si pengguna mainan tradisional, terutama anak-anak kita, sudah jarang memainkannya.
Komentar sebagian besar anak Indonesia sekarang, bermain petak umpet atau kelereng, misalnya, tidak up to date lagi. Mereka lebih senang dan tertarik menyendiri dan mengunci kamarnya sambil asyik memijit-mijit tombol stik playstation, yang tidak pernah mengajarkan nilai kepedulian sosial.
Dibutuhkan upaya maksimal baik dari jajaran pemerintah melalui dinas terkait maupun masyarakat sebagai pelaksana dalam melestarikan produk budaya permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai luhur dan pesan moral. Tanpa usaha seperti itu, bersiaplah anak-anak generasi kita sekarang dan mendatang menjadi pribadi yang tidak memiliki identitas kebudayaan.
1 komentar:
Ada referensi buku tentang permainan tradisional gak ?
Post a Comment