permainan gatheng2

ini adalah posting lanjutan dari postingan yang kemarin karena kalau di jadikan satu telalu panjang, bagi yang belum membaca bisa lihat di sini sebelumnya>>

Saat pemain B berhasil mengambil kerikil pertama dan kemudian menangkap kerikil yang dilemparkan, maka ia harus meletakkan sebuah kerikil di sampingnya. Kemudian ia berusaha mengambil kerikil lainnya dan melemparkan kerikil yang masih berada di tangan sambil kemudian menangkapnya lagi. Begitu seterusnya hingga kerikil yang berada di hadapannya terambil semuanya. Setelah itu semua kerikil disebar lagi di hadapannya. Jika telah menyelesaikan tahap pertama ini, pemain B harus melangkah ke tahapan yang disebut saku garo.

Pemain B di dalam tahapan saku garo harus kembali mengambil sebuah kerikil yang tadi telah disebar. Kerikil itu kembali dilempar ke atas sambil meraup dua kerikil sekaligus yang ada di lantai lalu dilanjutkan menangkap kerikil yang dilemparkan. Jika tidak berhasil harus digantikan oleh pemain giliran selanjutnya. Namun jika berhasil, maka melakukan cara yang sama, setelah dua kerikil yang ada di tangan diletakkan di sebelahnya. Jika pada pengambilan 2 kerikil selanjutnya pun berhasil, maka ia kembali menyebar semua kerikil di hadapannya dan ia telah sampai ke tahapan selanjutnya yang disebut saku galu.

Pada tahapan saku galu, pemain B kembali mengulangi cara sama, yakni mengambil satu kerikil kemudian dilempar ke atas sambil mengambil 3 kerikil sekaligus dilanjutkan menangkap kerikil yang dilempar. Setelah berhasil, ketiga kerikil kembali diletakkan disampingnya. Ia kembali mengambil sisa kerikil dengan cara yang sama. Jika berhasil semuanya, ia melangkah ke tahapan yang disebut saku gapuk.

Pada tahapan saku gapuk, pemain B menata empat kerikil saling berdempetan. Setelah itu ia kembali melemparkan sebuah kerikil lainnya ke atas dan dengan secepatnya mengambil semua kerikil yang berdempetan di hadapannya tadi untuk diraup sambil “ndulit” atau menempelkan jari telumpuk ke lantai kemudian diakhiri dengan menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas tadi. Jika ia dapat menangkap kerikil tadi berarti pemain B telah berhasil mendapatkan “sawah” atau nilai satu. Maka pemain giliran berikutnya berhak bermain selanjutnya. Demikian seterusnya hingga setiap pemain mendapatkan “sawah” yang banyak. Biasanya jumlah maksimal sawah sudah ditentukan, misalnya 5, 8, atau 10 sawah. Anak yang sudah mencapai sawah atau nilai 10 misalnya, maka anak yang paling kalah diukum dengan cara duduk slonjor.

Setelah duduk slonjor “posisi duduk dengan kaki lurus ke depan”, anak yang menang memukul-mukul kaki kiri yang slonjor secara pelan-pelan, lalu salah satu tangan kanan pemain yang menang mengepalkan tangannya ke atas. Pemain kalah dengan mata tertutup diminta menebak jumlah kerikil yang berada di tangan yang diangkat ke atas. Jumlah kerikil yang berada di genggaman tangan boleh sebagian atau seluruhnya, agar tidak mudah ditebak. Jika tidak semuanya, sebagian kerikil bisa disembunyikan di tempat yang aman, tidak kelihatan oleh pemain kalah. Saat memukul-pukul kaki pemain kalah dengan pelan, para pemain menang menyanyikan lagu “Genjeng” yang syairnya demikian: “Genjeng-genjeng/ debog bosok jambe wangen/ mur murtimur mur murtimur/ walang kadung dening cekung/ rondhe-rondhe/ pira satak pira lawe/ salawa aja na badhe/ picak jengkol pira kiye/ cakuthu cakuthu/ badhoganmu tahu basu/ aku dhewe carang madu//. Setelah tiba syair “carang madu” pemain kalah diminta membuka mata lalu menebak kerikil yang berada di genggaman tangan yang diangkat ke atas oleh salah satu pemain pemenang. Jika tebakan pemain kalah tepat, maka permainan dapat dilanjutkan. Namun jika tebakannya salah, lagu tadi bisa diulangi lagi hingga tebakannya benar.

Setiap kali pemain yang gagal di tengah permainan, maka ia akan mengulangi pada giliran berikutnya tidak mulai dari awal lagi tetapi dari tahapan yang masih gagal. Misalnya, pemain C pada permainan pertama gagal di tahapan ketiga yakni saku galu, maka setelah mendapat giliran berikutnya, ia berhak memulai di tahapan saku galu.

Dolanan gatheng memberi pelajaran kepada anak-anak untuk bermain sportif. Setiap anak yang belum trampil harus berani menerima kenyataan dan harus berani memberikan kesempatan kepada pemain lain, jika dirinya belum bisa menyelesaikan setiap tahapan. Setiap kali gagal harus berani mengatakan kalah atau gagal. Anak juga tidak boleh curang. Walaupun kadang pemain lain terlena, namun jika ia saat bermain melakukan kesalahan harus berani mengatakan “salah” dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Permainan ini juga mengajarkan kecekatan kepada anak-anak, tepatnya ketika anak-anak melemparkan kerikil ke atas dan harus segera menangkapnya. Begitulah permainan gatheng yang saat ini sudah tergilas oleh permainan modern yang lebih bersifat individualistis.

Sumber: Buku “Permainan Tradisional Jawa”, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Transformasi Permainan Anak Indonesia

Permainan anak modern dengan berbagai ke-elektronikanya telah menjadi prioritas untuk anak Indonesia dalam bermain. Permainan modern ini mampu menggusur keberadaan permainan tradisional yang telah menjadi budaya inilah yang di namakan Transformasi Permainan Anak Indonesia.

Kalau kita boleh membandingkan, zaman sekarang, orientasi permainan anak-anak kita sudah beralih ke permainan yang sifatnya elektronik dengan teknologi yang lebih canggih. Sebut saja, Play Station 1, 2, dan 3, PSP, Nintendo dan lain-lain sudah mampu menggantikan permainan tradisional yang sebenarnya banyak sekali manfaatnya. Teman SMA saya mempunyai usaha penyewaan rental PS 2 di rumahnya. Dapat terlihat dengan jelas, yang menjadi pelanggan utama adalah anak-anak SD umuran 6-12 tahun walaupun kadang ada juga anak umuran SMP dan SMA yang menyewa. Di tempat penyewaan itu terdapat enam play station+televisinya dan sewa perjamnya Rp 2500,00. Katanya, dalam sehari saja, ia bisa mendapat Rp 100.000 bahkan lebih jika hari libur. Tempat penyewaan itu agak ramai mulai pukul 12 lewat, waktu dimana anak SD sudah bubar. Walaupun kadang, masih terdapat beberapa anak yang merelakan bolos sekolah untuk pergi ke tempat penyewaan itu.

Dari teman saya yang lain, beberapa tempat penyewaan PS di daerahnya (kebetulan teman saya dari Jawa Tengah), sering mengadakan perjudian-perjudian bermain PS. Hal ini mungkin digeluti oleh orang yang lebih dewasa, umuran SMA dan kuliahan. Tapi, terkadang, beberapa anak kecil juga mulai mencoba berjudi dengan rekan sebayanya walaupun dengan taruhan yang agak rendah. Memang, kita melihat hal ini seperti hal yang biasa tapi secara tidak sadar, kita menanamkan jiwa-jiwa penjudi dalam diri anak-anak kita. Tentu saja pemantauan orang tua menjadi factor penentu proses pengawasan perkembangan anak terkait dengan dunia permainannya.

Sebenarnya, banyak dampak-dampak negative ketika anak diberikan permainan dengan teknologi sekarang atau damapk mengenai Transformasi Permainan Anak Indonesia. Misalkan, permainan elektronik identik dengan duduk diam saja, bersifat pasif sehingga tidak ada begitu gerakan berarti. Ini menyebabkan fisik anak dibiasakan untuk lemah dan akan terbawa ketika ia beranjak dewasa nanti. Kedua, ketika anak sudah dihadapkan dengan permainan elektronik, ia cenderung sendiri sehingga kurang bersosialisasi dengan temannya yang lain. Hal ini menyebabkan sifat pemalu, penyendiri dan individualistis.

Lain permainan elektronik, lain lagi permainan tradisional. Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita Siregar dalam bukunya, Permainan Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam bentuk dan variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan tradisional di Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa permainan tradisional Indonesia sangat melimpah. Tapi, kenyataan yang ada di masyarakat sekarang, permainan tradisional sudah sangat jarang dimainkan karena berbagai alasan.

Saya ingat, sewaktu SD dulu, setiap waktu jeda istirahat, bersama teman yang lain seringkali memainkan gobak sodor (kalau di daerah saya di Kalsel, namanya permainan Asin). Permainan ini terdiri dari dua kelompok yang saling adu dan masing-masing regu berusaha menjalankan strategi yang sudah dibuat regu masing-masing. Tanpa disadari, telah tertanam unsur kerjasama untuk mencapai tujuan bersama yaitu memenangkan pertandingan. Tanpa disadari telah tertanam dari kecil bagaimana cara bersosialisasi dengan sesame melalui permainan tradisional itu.

Permainan tradisional sebenarnya mempunyai karakteristik yang berdampak positif pada perkembangan anak.
  • Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di lingkungan kita tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Misalkan mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali, engrang yang dibuat dari bambu, permainan ecrak yang menggunakan batu, telepon-teleponan menggunakan kaleng bekas dan benang nilon dan lain sebagainya.
  • Kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak. Tidak mengherankan, kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud lebih pada pendalaman kemampuan interaksi antarpemain (potensi interpersonal). seperti petak umpet, , congklak, dan gobak sodor.
  • Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati, menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.
Banyak manfaat-manfaat lain yang dapat kita ambil dari permainan tradisional misalkan sosialisasi mereka (anak) dengan orang lain akan semakin baik; dalam permainan berkelompok mereka juga harus menentukan strategi, berkomunikasi dan bekerja sama dengan anggota tim (misalkan dalam permainan engklek, congklak, lompat tali, encrak/entrengan, bola bekel dan lain-lain. Manfaat-manfaat ini akan memperngaruhi perkembangan anak ke depannya.

Sekarang, tinggal orang tualah yang menentukan. Apakah lebih memilih untuk memperkenalkan teknologi sejak dini kepada anak termasuk dalam memberikan kebutuhan bermainnya. Ataukah mengajak anak untuk lebih sering turun bermain ke tanah sehingga ia dapat bersosialisasi dengan anak yang lain dalam permainan-permainan rakyat yang sudah ada. Tentunya, memilih keduanya harus ada batasan-batasan atau aturan-aturan tertentu yang mesti dijalankan sehingga dalam perkembangan anak masih dalam koridor yang baik. Orang tua yang baik pasti mengetahui bagaimana menanamkan nilai-nilai positif pada perkembangan anak-anaknya dalam bentuk permainan. Permainan tidak saja akan mempengaruhi perkembangan anak secara parsial tetapi juga akan menentukan karakteristik anak ke depannya.

Selain itu semua yang terpenting adalah bagaimana peran kita untuk turut serta mengembalikan dan mengenalkan permainan anak tradisional terhadap generasi anak Indonesia atau memodernkan permainan anak tradisional.

gatheng

Judul ini mungkin terasa masih asing di kalangan masyarakat luar jawa, karena apa? sebenarnya mereka mengenal ini tetapi dengan nama yang lain, gatheng ini mirip dengan permainan bekelan hanya saja veri yabg sangat tradisional.


Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72).

Bukti lain, kata gatheng juga ditemukan di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto diterbitkan oleh JB. Wolters’ Uitgevers Maatschappij tahun 1939. Pada halaman 134 kolom 2 diterangkan bahwa gatheng termasuk nama dolanan anak yang menggunakan kerikil berjumlah 5 buah. Kerikil tersebut ada yang dilemparkan ke atas, sebagian lain diambil memakai tangan (diraup). Dari keterangan di atas, jelas bahwa permainan gatheng memang termasuk dolanan anak yang sudah berumur tua. Dolanan itu hingga saat ini masik dikenal oleh sebagian masyarakat termasuk anak-anak karena masih dimainkan ketika waktu senggang. Hanya mungkin intensitasnya tidak seperti zaman dulu karena pilihan permainan anak zaman sekarang semakin banyak dan bervariasi. Namun begitu juga sudah banyak anak-anak yang merasa asing dengan permainan ini karena memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi mereka menganggap asing dolanan ini.


Dolanan gatheng termasuk permainan perorangan. Awalnya, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Namun dalam perkembangannya juga sering dimainkan oleh anak laki-laki. Jadi saat ini permainan ini sudah dianggap permainan umum, biasa dimainkan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang bermain gatheng biasanya setingkat SD atau berumur antara 7—14 tahun. Dolanan gatheng dimainkan oleh anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru.


Anak-anak yang akan bermain gatheng, misalkan 4 anak, sebelum bermain biasanya mereka sudah mempersiapkan 5 kerikil sama besar. Setelah itu mereka duduk melingkar di tempat yang rata. Hompipah dilakukan pertama kali untuk mencari pemenang urutan pertama hingga keempat. Misalkan B sebagai pemenang pertama, maka ia mendapatkan giliran bermain pertama kali, kemudian disusul pemenang selanjutnya, misalkan C,D, dan A.


gket satu sama lain. Sebab jika ada yang lengket atau menyatu akan menyulitkan bagi pemain. Setelah itu, pemain B mengambil salah satu kerikil lalu dilemparkan ke atas kira-kira 40-60 cm. Bisa lebih tinggi asalkan masih di sekitar area bermain. Sambil melemparkan sebuah kerikil ke atas, pemain B berusaha mengambil lagi sebuah kerikil lainnya sambil digenggam terus menangkap kerikil yang dilemparkan tadi sebelum kerikil jatuh ke lantai. Jika pemain B tidak berhasil menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas, berarti pemain B dianggap mati dan harus digantikan pemain C. Begitu pula jika ada kerikil yang lengket dan saat diambil pemain B bergerak, maka permainan oleh pemain B untuk sementara juga dianggap mati dan harus digantikan pemain lainnya.


bersambung


(Sumber: Buku “Permainan Tradisional Jawa”, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004)

dhelikan

Baca Dhelikan post 1Tautan
Namun sebaliknya jika yang “disekit B” larinya lebih cepat daripada pemain yang “dadi” dan lebih duluan memegang pohon yang menjadi pangkalan, maka pemain B lolos terhindar menjadi pemain “dadi”. Kemudian pemain kalah, misalkan G, harus kembali mencari pemain-pemain lain yang masih bersembunyi. Kebetulan jika pemain C misalnya lolos lagi dari tebakan dan segera memegang pohon sambil meneriakkan “jethung”, maka pemain C pun lolos dari “dadi”. Demikian seterusnya hingga ada pemain yang ditebak atau “disekit” dan ia kalah cepat memegang pangkalan daripada pemain “dadi”.

Jika pemain yang “dadi” terlalu penakut, biasanya ia lebih banyak tunggu pangkalan atau disebut tunggu “brok”. Jika ini terjadi, maka pemain yang bersembunyi akan selalu mengejek dengan kata-kata “sing dadi tunggu brok, sing dadi tunggu brok” begitu seterusnya. Maka pemain kalah akan merasa risih dan muncul keberanian untuk mencari asal suara-suara ejekan tadi. Ia akan berani mulai mencari walaupun dengan risiko jika larinya kalah cepat, maka ia akan sering “dadi”. Bagi anak yang sering “dadi” biasa sering disebut “dikungkung”. Jika ia tidak tahan bisa menangis. Tetapi kadang pula ia tetap bandel dan cuek dikatakan “tunggu brok” jika memang tidak punya keberanian mencari jauh-jauh pemain yang bersembunyi. Jika sudah menghadapi anak yang “tunggu brok” biasanya pemain yang bersembunyi akan membalasnya dengan bersembunyi semakin jauh dari pangkalan, bisa jadi ditinggal masuk rumah, mencari buah, tiduran, dan sebagainya.


Ada dua versi permainan jethungan untuk menentukan pemain “dadi” berikutnya. Versi pertama, seperti yang dijelaskan di atas, yakni setiap kali pemain yang “disekit” duluan kalah lari memegang pangkalan, ia dianggap yang “dadi” pada tahap berikutnya. Tetapi versi lain anak yang akan “dadi” baru ditentukan “dadi” apabila semua pemain yang ikut bermain sudah ditebak semuanya, baik yang bisa menangkap pangkalan duluan atau yang kalah cepat datang ke pangkalan. Misalkan jika dari enam anak yang menang, A,B,C,D,E, dan F, ada tiga anak A,B, dan C yang lolos bisa lebih dulu menangkap pangkalan, maka anak tersebut dianggap menang. Namun ada tiga anak lain misalkan D,E, dan F yang saat “disekit” saat berlomba menangkap pohon yang menjadi pangkalan, merela kalah duluan menangkapnya daripada pemain “dadi”. Maka ketiga anak tersebut yang bakal menjadi pemain “dadi” berikutnya.


Setelah semua pemain berkumpul, maka pemain “dadi” berada di paling depan dekat pohon pangkalan. Sementara itu semua pemain A,B,C,D,E, dan F berjajar di belakangnya sambil berdiri acak. Misalkan dengan urutan F,D,E,C,A, dan B. Sambil menutup mata, pemain “dadi” harus menebak salah satu pemain yang berjajar di belakangnya dengan menyebut angka urutan. Misalkan pemain “dadi” menyebut angka 3, maka pemain yang berjajar di urutan ketiga, yaitu pemain E, menjadi pemain yang “dadi” berikutnya. Sebab ia saat berlomba menangkap pangkalan kalah duluan dengan pemain G. Namun jika pemain G saat menebak anak yang berjajar menebak urutan ke-6, sementara yang menduduki urutan ke-6 adalah pemain B, maka terpaksa pemain G “dadi” lagi, karena pemain B termasuk salah satu pemain yang lolos saat beradu kecepatan menangkap pangkalan. Begitulah permainan jethungan berlangsung dari tahap awal ke tahap awal berikutnya.


Permainan jethungan memang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan keberanian bermain. Kecepatan dibutuhkan saat berlomba berlari dengan pemain lawan, ketepatan diperlukan saat menebak pemain lawan harus tepat tidak boleh keliru, dan keberanian diperlukan jika terpaksa harus “dikungkung” dan tidak boleh tunggu “brok”. Jika dimainkan pada malam hari, anak-anak harus berani menembus gelapnya malam agar tidak mudah ditebak oleh pemain “dadi”.


Sayang, permainan tradisional jethungan saat ini juga sudah mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sudah sangat jarang anak-anak bermain jethungan, kecuali mungkin di saat-saat ada acara festival dolanan, sarasehan, parade, atau lomba dolanan anak.


Repro Foto bersumber dari buku “Permainan Rakyat DIY”, Ahmad Yunus, 1980/1981.

jethungan

Keceriaan anak-anak kampung dulu juga sering terlihat dari permainan jethungan. Ada banyak tempat di Jawa yang mengenal jenis dolanan anak tradisional masyarakat Jawa ini, walaupun dengan nama yang agak berbeda, seperti jethungan, jelungan, dhelikan, atau umpetan. Namun prinsip permainan sama, yaitu pemain pemenang bersembunyi, sementara pemain kalah atau “dadi” berusaha mencari pemain lain tanpa harus meninggalkan terlalu jauh pangkalan sebagai tempat bermain.

Istilah jethungan juga telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Porwadarminto terbit tahun 1939. Pada halaman 84, kamus tersebut menyebut bahwa jethungan adalah jenis dolanan anak. Di kamus itu pula, disebutkan bahwa nama lain jethungan adalah jelungan dan jembelungan. Dari istilah di kamus ini menunjukkan bahwa jenis permainan tradisional ini sudah dikenal sebelum tahun 1939 oleh anak-anak masyarakat Jawa.
Istilah jethungan atau jelungan biasa digunakan di suatu daerah karena istilah itu sering diucapkan oleh pemain-pemain yang berhasil tiba di pangkalan tanpa bisa ditebak oleh pemain kalah. Sementara istilah dhelikan dan umpetan yang dipakai di daerah lain, lebih menunjuk ke pemain yang menang ketika sedang bersembunyi. Sementara tidak ada referensi yang jelas terhadap keterangan kata jembelungan.

Seperti umumnya permainan tradisional yang dikenal oleh anak-anak di lingkungan Jawa, dolanan jethungan juga tidak membutuhkan biaya dan perlengkapan yang mahal. Dolanan ini dapat dimainkan oleh anak-anak tanpa harus mengeluarkan biaya, karena hanya membutuhkan tempat yang cukup luas. Dulu, dolanan ini biasa dimainkan di halaman rumah, di dalam rumah, di jalan-jalan kampung, di lapangan, maupun di perkampungan. Anak-anak yang senang bermain jethungan berumur 6—14 tahun. Namun ada kalanya anak-anak yang lebih besar ikut bermain. Permainan dilakukan secara berkelompok, artinya lebih ideal dimainkan antara 4—10 anak. Jethungan sering dimainkan saat-saat waktu senggang, seperti sore hari atau malam hari. Saat liburan kadang juga dimainkan pada pagi hari. Begitu pula ketika di sekolah, bisa dilakukan waktu istirahat.

Anak-anak yang hendak memainkan dolanan jethungan biasanya setelah berkumpul, menyepakati beberapa peraturan sederhana, misalnya, pembatasan wilayah permainan, tidak diperkenankan masuk rumah (jika bermain di luar rumah), harus melihat sungguh-sungguh yang ditunjuk (dithor, disekit) bukan asal spekulasi, waktu menutup mata tidak boleh melirik, tidak boleh terus-menerus menunggu pangkalan (tunggu brok), dan sebagainya. Jika mereka sudah membuat peraturan sederhana, mereka memilih sebuah pangkalan untuk dijadikan pusat permainan, misalnya pohon, sudut tembok, gardu ronda, tembok gapura, sudut pagar, tiang rumah, atau lainnya. Pangkalan sebisa mungkin mudah dijangkau oleh semua pemain.
Semua anak yang akan bermain, misalnya berjumlah tujuh anak (A,B,C,D,E,F, dan G), harus melakukan hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan kalah menang. Saat telah terdapat satu pemain yang “dadi”, maka anak-anak yang menang “sut” segera bersembunyi ke tempat-tempat yang tidak mudah terlihat oleh anak yang “dadi”. Pemain “dadi” memberi kesempatan ke anak-anak yang akan bersembunyi, biasanya memakai hitungan 1-10 dan jika semua pemain menang telah bersembunyi, lalu mereka meneriakkan kata “wis”, “ndhuuuk” atau diam saja. Dengan kode seperti itu, berarti pemain “dadi” siap untuk mencarinya. Ia harus mencari anak-anak yang bersembunyi satu-persatu. Jika telah menemukan satu anak, misalkan bernama B, maka ia segera menyebut namanya (“sekit” B) lalu berlomba berlari kembali ke pangkalan dengan anak yang ditebak atau istilah lainnya telah “disekit”. Jika B tadi kalah cepat tiba di pangkalan berarti ia yang “dadi”. Sementara pemain yang kalah menjadi anak yang menang, berarti ikut bersembunyi.

Repro Foto bersumber dari buku “Permainan Rakyat DIY”, Ahmad Yunus, 1980/1981.