Bagi anak sekarang, nama dolanan satu ini mungkin terdengar aneh, atau bahkan baru mendengar kali ini. Hal itu bisa terjadi, karena memang permainan satu ini termasuk dolanan tradisional yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai atau dimainkan oleh anak-anak bersama teman-teman sebayanya. Namun sebenarnya, bagi anak-anak, terutama di Jawa, pada zaman dulu dolanan ini biasa dimainkan. Nah penasaran dengan cara bermainnya? Kita ikuti ulasan di bawah ini.
Melihat dari nama permainan, sebenarnya nama koko identik dengan nama sebuah jenis ular air yang sedang mencari makan di air. Menurut sebuah sumber dari Sukirman Dharmamulya, jenis dolanan ini sudah berumur sangat tua, walaupun tidak ada data akurat mulai kapan, dolanan ini dikenal oleh anak-anak di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Sayang, walaupun jenis dolanan ini pernah hidup di Jawa dan sudah sangat tua, kata koko yang berarti nama dolanan, tidak dijumpai dalam kamus Boesastra Djawa.
Sebenarnya dolanan ini hampir mirip dengan dolanan ancak-ancak alis. Artinya para pemain ada yang membentuk ular-ularan. Hanya cara bermainnya yang agak berbeda. Pada dolanan ini nanti, anak yang berada di posisi paling belakang yang membentuk formatur ular-ularan, akan dikejar-kejar oleh si koko.
Dolanan “Koko-Koko” tidak membutuhkan peralatan, kecuali sarung atau sabuk. Fungsi sarung atau sabuk dipakai oleh masing-masing anak yang membentuk formatur ular-ularan. Sarung/sabuk dipegang oleh pemain yang berada di belakangnya. Sementara pemain paling depan berperan sebagai Kakek/Nenek. Satu pemain lain berperan sebagai koko. Selain peralatan sarung/sabuk, dolanan ini hanya membutuhkan tanah lapang yang luas.
Dolanan “Koko-Koko” biasa dimainkan oleh anak laki-laki, karena membutuhkan kekuatan fisik untuk berlari. Dalam dolanan ini, anak-anak yang bermain sekitar 10 anak. Lebih banyak lebih baik, karena formasi ular akan semakin panjang, sehingga membuat koko kesulitan mengejar mangsa. Mereka yang bermain dolanan ini rata-rata berumur 8-10 tahun. Seperti pada permainan lain, dolanan ini lebih sering dimainkan saat-saat waktu libur atau senggang, baik pagi, siang, sore, atau malam hari saat terang bulan. Jika dimainkan siang hari, lebih banyak dimainkan di halaman yang teduh. Sementara saat dimainkan malam hari, lebih banyak dimainkan di tanah lapang yang mudah kena sinar bulan.
Anak-anak yang hendak bermain dolanan koko-koko misalnya ada 10 anak, yaitu A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J. Setelah mereka bersepakat bermain, lalu terus berkumpul di halaman rumah. Dari mereka, satu orang berperan menjadi koko, satu orang berperan menjadi kakek/nenek, dan pemain lainnya berperan sebagai anak buah kakek/nenek. Mereka bergandengan ke belakang dengan memegang sarung/sabuk yang telah dipakai di pinggang atau dikalungkan di badan. Pegangan pemain anak buah harus kuat, sebab jika sampai terlepas, maka akan menjadi pemain dadi.
Setelah semua siap, pemain yang berperan Koko-Koko (KK) dan Kakek/Nenek (K/N) melakukan dialog sebagai pembuka. Dialog seperti di bawah ini:
K/N : Koko-koko kowe arep njaluk apa?
KK : Aku njaluk banyumu.
K/N : Wadhahe apa?
KK : Godhong lumbu.
K/N : Apa gulumu ora gatel?
KK : Gatel-gatel dak ulu.
K/N : Tambane apa?
KK : Gula batu.
K/N : Olehmu njupuk ngendi?
KK : Grabaganmu. Kelip-kelip ing dhadhamu kuwi apa?
K/N : Anakku.
KK : Dak jaluk oleh apa ora?
K/N : Ora oleh.
KK : Dak jaluk ora oleh, ya dak rebut!
Setelah percakapan iku, maka koko berusaha menyambar anak kakek yang berada di paling belakang. Jika koko berlari ke arah kanan, maka ekor ular akan mengarah ke kiri. Begitu sebaliknya. Namun jika koko bisa mendekat ke ekor dan berhasil memegang pemain paling belakang, maka pemain belakang dengan sekuat tenaga memegang sarung atau sabuk. Maka terjadilah tarik-menarik yang sangat alot. Anak-anak lain berusaha mempertahankan pemain paling belakang, dan terkadang disertai suara tertawaan dari para pemain atau penonton. Jika pemain belakang bisa dilepaskan oleh si koko, berarti ia menjadi pemain dadi dan menggantikan pemain koko. Sementara pemain koko bisa bergabung ke pemain lain.
Ada cara lain, saat si koko telah bisa mendekat ke ekor ular, maka pemain paling belakang melepaskan sarung atau sabuk dan berlari sekuat tenaga. Maka si koko segera mengejar pemain yang lari. Jika si koko bisa menangkapnya, maka pemain yang lari menjadi pemain dadi. Namun jika pemain lolos dan bergabung lagi ke posisi semula, maka si kakek/nenek berusaha lagi menghalangi-halangi si koko untuk menangkap ekornya. Begitu seterusnya hingga mereka merasa capek.
Dolanan ini mengajarkan kepada anak-anak untuk bisa hidup bersosialisasi dengan teman. Dengan dolanan koko-koko ini, anak juga fisiknya lebih sehat, karena banyak berlari, melatih keberaniannya dan diajak untuk lebih sportif dan menghargai teman-temannya. Jika sedang dadi, maka harus berani menghadapinya dan tidak mudah cengeng.
Sumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, 2004, Yogyakarta: Kepel Press
No comments:
Post a Comment
Mari kita lestarikan permainan anak tradisional indonesia, minimal dengan meninggalkan komentar di postingan ini. Dengan meninggalkan komentar itu tandanya sahabat peduli dengan permainan anak tradisional