Permainan Anjlig

Dolanan Anjlig, mungkin terasa aneh di telinga anak-anak sekarang. Tetapi itulah salah satu nama dolanan anak yang berkembang di masyarakat Jawa tempo dulu. Setidaknya, di tahun 1970-an, dolanan anjlig masih sering dimainkan oleh anak-anak yang hidup di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Sementara daerah lain tidak dijumpai. Namun seiring perkembangan zaman, saat ini dolanan itu sudah tidak disukai oleh anak-anak, tinggal catatan sejarahnya saja.

Menurut sebuah buku berjudul “Permainan Rakyat DIY” tahun 1981, dolanan anjlig merupakan sebuah mainan tradisional yang awal mulanya mengandung magis. Dolanan dengan memakai alat batang kayu tajam itu ditampilkan untuk adu kekuatan dan kesaktian seseorang. Namun dalam perkembangannya, dolanan itu sudah tidak mengandung magis lagi dan hanya sebagai bentuk permainan belaka. Namun alat tetap sama, masih memakai kayu tajam. Kayu yang dipakai biasanya kayu yang kuat dan ulet, seperti kayu asem, mangga, jambu, dan sebagainya. Salah satu ujung kayu dibuat tajam. Biasanya yang memainkan dolanan ini anak laki-laki yang sudah agak remaja, di atas umur 14 tahun. Dinamakan dolanan anjlig, terinspirasi dari alat yang dilemparkan ke kubangan kemudian berbunyi jlig. Sehingga akhirnya anak-anak setempat dolanan itu dengan nama anjlig.

Pada zaman dahulu, dolanan anjlig sering dimainkan di area sawah. Sehabis panen, anak-anak mengisi hiburan dengan dolanan anjlig ini. Alat yang dibutuhkan hanya sebatang kayu dengan ukuran panjang sekitar 50 cm, diameter kayu sekitar 5 cm yang penting mudah dipegang oleh anak-anak remaja. Pada perkembangan selanjutnya, merambah ke halaman rumah. Jika dilakukan di halaman rumah, biasanya lubang dengan diameter sekitar 50 cm terlebih dahulu digemburkan dan kedalaman sekitar 30 cm. Agar alat anjlig mudah tertancap di tanah kemudian ditambah air, sehingga tanah menjadi agak lembek seperti lumpur.

Dolanan ini sifatnya kompetitif. Barangsiapa yang berhasil menancapkan alat dengan posisi tegak ke lahan hingga terakhir, dianggap sebagai pemenang. Sementara anak yang kalah, diolesi lumpur di bagian wajah. Lengan, atau kaki. Jadi dolanan ini juga mengandung unsur humoris, karena yang kalah akan menjadi bahan tertawaan anak yang lain. Anak-anal remaja biasanya bermain secara bergerombol sekitar 3-5 anak. Dilakukan pada siang hari, saat terang cuaca. Jarang dimainkan malam hari, karena suasana gelap. Dolanan ini termasuk mengandung risiko, bisa melukai kaki atau tubuh lainnya, jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Makanya waktu bermain pada siang hari dan yang bermain biasanya anak menginjak remaja.

Saat anak-anak bermain anjlig tidak memerlukan iringan lagu dolanan. Sorak-sorai paling datang dari para penonton yang umumnya anak-anak yang berada tidak jauh dari lokasi bermain. Jika para pemain sudah siap bermain, biasanya mereka menuju ke lokasi permainan, setelah mempersiapkan peralatan masing-masing. Untuk mengawali permainan, mereka melakukan “hompimpah” dan “sut”. Anak yang pertama menang, berhak untuk main duluan. Kemudian disusul pemenang kedua dan seterusnya.



Sementara aturan permainan di antaranya adalah: kesatu, permainan pertama tidak boleh merobohkan; kedua, kalau “gacuk” tidak menancap di lumpur, maka mendapat hukuman; ketiga, kemenangan dicapai apabila dapat merobohkan “gacuk” lainnya yang telah menancap di lumpur sementara “gacuknya” sendiri juga harus menancap; keempat, kalau dirobohkan oleh lawan, maka mendapat hukuman dan yang berhak menghukum adalah yang dapat merobohkan; kelima, pemain kalah jika dilumuri lumpur tidak boleh marah. Permainan akan berakhir apabila tidak ada batang kayu pemain yang menancap di lumpur, maka permainan bisa mulai dari awal.

Jika ada 5 pemain, misalkan pemain A, B, C, D, dan E telah melakukan undian, ternyata urutan pemenang adalah B, D, E, A, dan C. Maka pemain B mengawali menancapkan batang kayunya ke lumpur. Setelah menancap, maka disusul pemain berikutnya. Jika ada yang tidak menancap, pemain dihukum beramai-ramai. Pada tahapan pertama, pemain kedua dan seterusnya tidak boleh merobohkan gacuk yang sudah menancap.

Pada tahapan kedua, pemain B mengambil gacuknya kembali dan melempar ke lumpur. Pada tahapan kedua ini, pemain B mulai mengarahkan gacuknya untuk merobohkan gacuk pemain lain. Jika pada lemparan berikutnya, misalkan gacuk A roboh, maka pemain A dihukum oleh pemain B dengan cara dilumuri lumpur. Setelah dihukum, ganti pemain A yang kalah, lalu melempar dan boleh mengenai sasaran gacuk lainnya. Jika gacuk pemain A tidak bisa merobohkan gacuk lainnya, dapat dilanjutkan giliran berikutnya, yakni pemain D. Begitu seterusnya. Jika tidak ada gacuk yang tertancap, bisa dimulai dari awal lagi.



Dolanan anjlig memang mengajarkan ke anak-anak untuk bermain sportif dan melatih ketangkasan mereka menancapkan batang kayu ke lumpur. Dolanan ini juga mengajarkan kepada anak-anak untuk mudah bergaul dan bersosialisasi dengan teman sebaya, agar terjalin keakraban di antara mereka. Selain itu juga diharapkan mereka yang bermain dolanan ini tidak mudah emosi, jika kalah, karena sudah menjadi komitmen bersama. Sayang, seiring perkembangan zaman, dolanan ini tinggal menjadi kenangan belaka.

Sumber: PermainanRakyat DIY, Ahmad Yunus, 1981, Jakarta: Departemen P dan K

No comments:

Post a Comment

Mari kita lestarikan permainan anak tradisional indonesia, minimal dengan meninggalkan komentar di postingan ini. Dengan meninggalkan komentar itu tandanya sahabat peduli dengan permainan anak tradisional