Bagaimanapun orang Muna masa kini menafikkan Kolope, tapi sejarah membuktikan Kolope tidak dapat dipisahkan dengan budaya masa lalu orang muna.
Kalaupun buahnya tidak diakui sebagai makanan tradisional, namun daunnya melanglang dunia membawa harum kabupaten Muna berkibar di angkasa Internasional. Layang-layang daun Kolope berulang kali menjuarai Festival layang-layang internasional.
Dan karena daun Kolope itu juga, berbagai negara di dunia sudi datang ke muna untuk festival layang-layang internasional. Seperti kulitnya mengolah buah Kolope hingga sampai di meja makan, mengolah daun Kolope menjadi kertas layang-layang juga tidak mudah.
Kolope merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, persis ketika iklim menandai musim penghujan tiba. Daun baru itu terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang nanti sekitar bulan juli, daun Kolope sudah cukup matang untuk dipetik. Ada juga pilihan lain yakni menungu daun itu kering secara alami lalu gugur di tanah.
Tapi daun seperti itu terlalu rapuh dan mudah robek. Lagipula, hasilnya kertas Kolope akan berwarna kuning. Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu dipanggang diatas bara api (bahasa muna : dikandela). Setelah itu, dijemur dibawah terik matahari selama dua hari.
Hasilnya, kertas putih, elastis dan kedap air (water resistant). Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar seratus lembar daun Kolope. Setelah menjadi kertas putih, daun-daun itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sinya sehingga menjadi satu lembaran yang ututh.
Lembaran calon kertas layang-layang itu dikepik dengan kerangka kayuagar tidak cerai berai dan disimpan selama lima hari.
Lima hari kemudian, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. Sambil menunggu itu, dapatlah dibuat kerangka layang-layang. Bahan bakunya bambu atau orang muna menyebutnya patu-patu. Kemudian mempersiapkan tali untuk layang-layang.
Tali layang-layang juga unik karena dibuat dari daun nenas hutan. Seperti memilih daun Kolope, daun nenas yang dipetik sebaiknya daun tua. Daun ini tidak langsung diolah melainkan disimpan dahulu selama dua hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu sehingga yang tersisa hanya serat lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai benang.
Jumbai-jumbai itu selanjutnya dipilin menjadi seutas tali siap pakai. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan sepuluh meter tali layang-layang. Ketika kerangka dan tali sudah siap, berarti semua bahan sudah siap untuk distukan menjadi satu layang-layang Kolope utuh.
Zaman dahulu, kerangka layang-layang Kolope dibuat setinggi “Tegap Merdeka” pembuatanya tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Setelah semuanya siap layang-layang diberi sentuhan terakhir yakni nada dering atau bahasa Muna-nya kamumu. Kamumu sebenarnya semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin pita itu bergetar dengan frekwensi tertentu lalu mengeluarkan bunyi khas nan merdu mendayu terutama pada malam yang sunyi.
Karena kertas Kolope anti air, maka layang-layang ini tahan bergetar diudara siang malam, selama berhari-hari. Sekehendak pemiliknya, kapan mau diturunkan. Dan, karena setiap orang memiliki ukuran pita Kamumu yang digemarinya, maka bunyi yang dihasilkannya juga menjadi spesifik.
Tak heran, bagi telinga yang berpengalaman dari bunyi kamumu, segera bisa menebak siapa pemilik layang-layang yang mengangkasa diatas langit malam itu.***
weew..
ReplyDeleteaku bangga dgn daerahku MUNA,
dan aku juga bangga dgn layang-layang kolope..
^___^